Kebudayaan Jepang telah banyak berubah dari zaman ke zaman dari kebudayaan asli negara ini. Setalah beberapa pengaruh dari gelombang imigrasi dari benua lain disekitar Kepulauan Pasifik yang diikuti dengan masuknya budaya Tiongkok, Jepang memgalami masa isolasi yang panjang dari dunia luar dibawah Kashogunan Tokugawa sampai datangnya "The Black Ships" dan era Meiji. Banyak pengaruh kebudayaan yang mengkombinasi dalam negara ini yaitu Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
Di negara Jepang istilah filsafat disebut Kitetsugaku yang berarti ilmu mencari kebijaksanaan yang diperkenalkan oleh Nishi Amane pada tahun 1862 yang 12 tahun kemudia ia singkat istilahnya menjadi "tetsugaku" yang menggambarkan sesuatu yang dirasakan menguntungkan untuk Jepang sebagai suatu kondisi yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang modern.
Tetsugaku adalah kata dalam bahasa Jepang yang berarti filsafat. Terdapat tiga fakta dasar mengenai filsafat Jepang, yaitu :
1. Filsafat Jepang dimulai pada era Meiji dengan mengkombinasikan konsep-konsep Budha yang kemudian menjadi Tetsugaku.
2. Logika empirisme diperkenalkan setelah Perang Dunia kedua.
3. Filsafat ilmu yang beraliran Marx muncul pada tahun sekitar 1930-an dengan tokoh utamanya bernama Mitsuo Taketani yang mempublikasikan Doktrin Tiga Tahap Pengembangan Ilmu pada tahun 1936.
Tetsugaku digunakan untuk menggambarkan bahwa masyarakat Jepang terkadang pemilih terhadap hal-hal yang dapat membantu pembangunan masyarakat modern, terkadang muncul ketidakpercayaan akibat hilangnya spiritualitas dengan munculnya ancaman yang bersifat etnosentris karena mereka tidak terbiasa dengan hal-hal baru. Keberadaan sejarah filsafat di Jepang tidak cukup untuk membuktikan bahwa filsafat Jepang cukup dikenal. Dapat dikatakan bahwa filsafat di Jepang diadopsi dari filsafat Cina maupun dari Barat, karena Jepang tidak memiliki filsafat asli. Sebetulnya filsafat Jepang dapat tercipta bukan karena hanya menyalin maupun mengadopsi, melainkan mengembangkan filsafat Timur dan Barat dengan mempelajari masalah-masalah yang ada dengan cara yang baru dan mengembangkannya sesuai dengan gaya Jepang.
Tujuan utama filsafat pada abad ketujuh dan kedelapan adalah untuk mengintegrasikan ide-ide yang tersedia, baik asing maupun pribumi menjadi sebuah pandangan dunia yang sistematis dalam pelayanan stabilitas politik.
Sejarah filsafat di Jepang dibagi menjadi empat periode yang meliputi :
1. Buddhisme
Merupakan salah satu sumber-sumber filsafat Jepang. Meskipun berasal dari India, Buddhisme berkembang dengan budaya yang berbeda dan itulah yang membuat Buddhisme Cina yang paling langsung mempengaruhi pemikiran Jepang yang disebarkan oleh pangeran Shotoku dengan memberikan moral yang baik kepada masyarakatnya yang berbunyi "walaupun orang lain membuat kita marah, marilah kita takut akan kesalahan kita sendiri, dan walaupun kita sendiri mungkin benar, mari kita ikuti yang lebih banyak dan bersikap seperti mereka". Nilai keselarasan ini ditekankan berulang kali dalam Konstitusi sedemikian rupa sehingga pedoman moral dapat berkuasa. Buddhisme mendorong pencapaian keadaan yang cerah di mana satu akhirnya menyadari bahwa sifat utama realitas adalah Keesaan transenden yang dipahami sebagai realitas empiris sebagai sesuatu yang kosong. Tujuan akhirnya adalah untuk membuktikan kekosongan dari semua akar tentang keberadaan alam semesta dengan menarik perhatian pada pengalaman nyata yang transenden dimana dalam mempelajari Buddhisme adalah untuk mempelajari diri sendiri dengan melupakan diri sendiri untuk mewujudkan diri sebagai segala sesuatu dengan menanggalkan pikiran sendiri, tubuh, maupun orang lain. Buddhisme mengajarkan bahwa egoisme adalah penyebab utama dari penderitaan manusia dan ketidakpuasan, dengan mengontrol keinginan dan menghilangkan egoisme maka seseorang dapat mencapai perdamaian dan harmoni batin.
2. Konfusianisme
Selama periode Tokugawa, minat baru terhadap etika praktis dan pemerintah menyebabkan hadirnya konfusianisme. Beberapa unsur Konfusianisme sudah hadir dalam kebudayaan Jepang yang ditularkan dari Cina selama fase Budha. Pangeran Shotoku menganut beberapa elemen yang meliputi "Bila anda menerima perintak kekaisaran, gagal tidak cermat untuk mematuhinya. Tuhan adalah Surga, bawahan adalah Bumi. Jika bumi berusaha untuk menyebarluaskan, Surga hanya akan jatuh dalam kehancuran. Oleh karena itu, ketika penguasa berbicara maka bawahan harus mendengarkan".
Konfusianisme memberi Jepang model hirarki untuk tatanan sosial dan politik yang difokuskan pada interaksi pribadi, menjelaskan tanggung jawab akan tugas yang relevan dengan lima hubungan dasar : tuan-hamba, orang tua-anak, suami-istri, tua muda dan teman-teman.
Konfusianisme mengidentifikasi pola pikir optimis dan humanistik yang dilakukan sendiri dengan cara meneladani sikap positif dalam berbagai peran sosial.
Konfusianisme mengandaikan bahwa pikiran dan perilaku berjalan seiring sehingga tidak ada hal seperti itu sebagai ide baik dari seseorang yang bersifat buruk adalah orang yang tidak berperilaku sesuai dengan peran sosial yang dimilkinya.
3. Shintoisme
Adalah tradisi keagamaan Jepang yang paling jelas mencerminkan pandangan asli dari Jepang. Shinto telah mengalami perubahan terutama sejak restorasi Meiji 1868 yang mengungkapkan bahwa perubahan di bidang politik dan sosial berarti perubahan dalam arti Shinto itu sendiri yang adalah paham lokal dan berbasis kuil bukan berakar pada tradisi doktrinal.
Sepanjang sejarah Jepang, Shinto telah memberikan upacara ritual bagi pemerintahan dan masyarakat yang bercita-cita etis dan banyak dari keyakinan agama yang sebenarnya berasal dari Konfusianisme dan Buddhisme. Setelah restorasi Meiji tahun 1868 muncul bentuk baru dari Shinto sebagai "Negara Shinto" yang dikembangkan oleh pemerintah Jepang dalam usaha untuk menutup pintu masa lalu feodal Jepang dan menyatukan pikiran orang Jepang dalam program modernisasi dan perluasan industri dalam rangka untuk mengejar ketinggalan dengan Barat dengan dipaksa untuk beradaptasi. Shinto telah berkontribusi kuat terhadap pandangan Jepang bahwa identitas seseorang didefinisikan oleh masyarakat daripada kepentingan dalam individu, juga memberikan orang Jepang rasa nasionalisme yang tinggi melalui mitos penciptaan.
4. Filsafat Jepang setelah periode Meiji
Filsuf Jepang dengan cepat mengenal kesamaan antara filsafat holistik dan interpretasi mereka sendiri yang berasal dari warisan filsafat Buddhis. Nishida menerapkan metode fenomenologis, tetapi juga mengambangkan sebuah kritik terhadap proyeknya yang menyatakan telah memberikan prioritas yang lebih kepada konsep waktu atas ruang. Nishida memperkenalkan konsep tentang pengalaman murni.
Kesadaran individu yang dipertahankan oleh para filsuf sekolah Kyoto pada tahun 1930 mendukung meningkatnya ideologi pada waktu itu dengan meninggalkan kepentingan subyektif demi kepentingan negara. Sekolah kyoto telah banyak dikritik karena hal ini, terutama dari gerakan demokratis dan Marxis di Jepang. Filsafat Jepang mengalami ketegangan antara mengatasi dualitas subyek-obyek pemikiran Barat, namun di satu sisi terdapat perkembangan berpikir secara kritis.
Setelah restorasi Meiji
Kekalahan dalam perang dunia kedua menyebabkan banyak filsuf memikirkan kembali posisi mereka. Dalam mengingatkan semangat para pemikir Budda Kamakura, banyak filsuf yang telah berpaling untuk memeriksa kembali sifat eksistensi manusia yang sekarang dapat dirumuskan dalam kaitannya dengan problematika eksistensialisme maupun Buddhisme. Pada saat yang sama beberapa filsuf Jepang terus meneliti studi ilmiah filsafat Barat. Terakhir dan terutama sejak tahun 1960-an, ada individu dan kelompok filsuf yang telah meneliti arah provokatif baru yang menggambarkan ide-ide mereka dari berbagai sumber termasuk Barat, psikoanalis ilmu pengetahuan dan fenomenologi serta pemikiran Asia tradisional dan obat. Fenomena ini adalah contoh lain dari pola berulang dalam sejarah filsafat Jepang : Asimilasi dan Adaptasi dari ide-ide asing terhadap latar belakang dari tradisi yang berkelanjutan.
Disaring dari sumber dibawah ini pada hari Minggu, 6 April 2014 pada pukul 20:03 WIB :